Kota Malang Dihantui Banjir dan Macet: Perlukah Pemkot Malang Kembalikan Fungsi Ruang Terbuka Hijau?

Hari jadi ke-109 Kota Malang dirayakan hari ini. Dua penyakit akut, yaitu banjir dan macet, harus segera diselesaikan oleh kota terbesar kedua di Jawa Timur ini. Hampir seluruh wilayah kota tergenang banjir akibat hujan dengan intensitas tinggi pada akhir bulan lalu. Pemerintah Kota Malang dinilai kurang serius dalam menangani banjir, terutama saat musim penghujan.
Diminta oleh pakar Tata Kota dari Universitas Brawijaya, Agus Dwi Wicaksono, agar fungsi ruang terbuka hijau atau RTH dikembalikan oleh Pemkot Malang. Karena sampai saat ini, jumlah RTH di Kota Malang belum mencapai 30 persen sesuai amanat undang-undang.
“Untuk RTH misalnya, Kota Malang itu masih belum. Artinya mencukupi jumlah RTH yang diamanatkan oleh undang-undang. Yakni RTH minimal 30 persen, dengan perincian 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat,” ucap Agus.
Menurut Agus, ruang terbuka hijau harus dikembalikan fungsinya oleh Pemkot Malang agar dapat menangani persoalan banjir yang selama ini belum tertuntaskan.
“Jadi harus dikembalikan ruang terbuka hijau itu, karena dapat berfungsi sebagai area resapan air. Karena juga banyak area yang diaspal atau tertutup cor, sehingga tidak lagi berfungsi sebagai resapan air,” sambungnya.
Dikatakan oleh Agus bahwa tidak cukup hanya melakukan normalisasi drainase atau saluran gorong-gorong saja dalam menangani banjir. Namun harus diimbangi dengan cara lainnya, yaitu memperbanyak adanya sumur resapan atau sumur biopori.
Agus juga menganggap bahwa konsep sumur resapan masih ideal untuk diterapkan di wilayah Kota Malang yang secara geografis merupakan dataran tinggi. Sumur resapan dapat mengurangi debit air hujan sebelum kemudian mengalir ke drainase ataupun gorong-gorong.
“Karena jika hanya mengandalkan drainase saja, debit air tidak terkurangi. Maka wilayah terendah akan terjadi banjir, karena drainase tak mampu menampung debit air.Jika ada sumur resapan dan jumlahnya banyak, maka akan membantu mengurangi debit air,” ujarnya.
Agus melanjutkan bahwa Pemkot Malang juga perlu menggandeng banyak pihak dalam menuntaskan persoalan banjir. Salah satu tindakan yang harus dilakukan adalah memberikan edukasi dan menyadarkan masyarakat untuk mengubah perilaku membuang sampah di sembarang tempat.
“Pemkot Malang harus menggandeng banyak pihak dalam menanggani persoalan banjir. Akademisi, media, kelompok masyarakat juga perlu dilibatkan, khususnya mengubah perilaku masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan. Karena masalah banjir bukan hanya soal cuaca atau alam, tapi ulah manusia juga menjadi salah satu penyebabnya,” tuturnya.
Menurut Rachmad K Dwi Susilo, seorang pengamat sosial dari Universitas Muhammadiyah Malang, kebijakan Pemkot Malang dalam mengatasi persoalan banjir harus dievaluasi oleh masyarakat sipil. Alasan bencana hidrometeorologi dan perubahan iklim sering dijadikan alasan terjadinya banjir selama ini.
Menurut Rachmad, alasan perubahan iklim dan bencana hidrometeorologi tidak dapat dijadikan alasan logika untuk kebijakan. Tanggung jawab untuk mencari solusi harus dilakukan oleh pemerintah.
“Kalau bicara politik pengetahuan mengenai kebencanaan, mungkin sedunia sudah kompak, banjir itu intensitas air tinggi karena bencana hidrometeorologi. Jadi, dimunculkan akibat dari perubahan iklim. Nah, nampaknya semua pengambil kebijakan merasa itu alasan yang tepat, selain itu juga terlihat ada ketidakberdayaan. Itu yang sering digunakan alasan sehingga masyarakat tidak bisa mengontrol dan evaluasi kinerja yang dilakukan pemerintah selama ini,” lanjutnya.
Jika sudah merasa optimal atas capaian penanganan banjir saat ini, itu menunjukkan bahwa tanggung jawab pemerintah tidak terpenuhi, menurut Rachmad. Harapannya, Pemkot Malang dapat menjelaskan kepada publik tentang tindakan apa saja yang telah mereka lakukan untuk menangani banjir.
1 Komentar