Kanal Malang
Beranda Berita Utama Bagaimana Silicon Valley Bank Bisa Bangkrut? Simak Ulasannya!

Bagaimana Silicon Valley Bank Bisa Bangkrut? Simak Ulasannya!

Kegagalan Silicon Valley Bank diprediksi berdampak besar pada ekosistem startup teknologi global. (image source: mrgr.com)

Daftar isi:

[Sembunyikan] [Tampilkan]

KANALMALANG.net – Berita mengenai kolaps atau kegagalan Silicon Valley Bank (SVB) menjadi perbincangan hangat setelah dalam waktu 48 jam, bank tersebut ditutup operasinya oleh otoritas berwenang Amerika Serikat pada Jumat minggu lalu (10/3/2023).

Kegagalan Silicon Valley Bank diprediksi berdampak besar pada ekosistem perusahaan rintisan (startup) teknologi global. Dalam konteks ini, perlu diketahui lebih dalam mengenai profil dari bank yang satu ini.

Lalu, siapa sebenarnya Silicon Valley Bank? Berikut ulasannya.

Profil Silicon Valley Bank

Silicon Valley Bank merupakan lembaga keuangan bank yang berpusat di Santa Clara, California, Amerika Serikat dan bukanlah bank baru. Sejak 40 tahun lalu, tepatnya pada 1983, Bill Biggerstaff dan Robert Medearis mendirikan Silicon Valley Bank dengan Roger Smith sebagai CEO pertamanya.

Dari awal berdirinya, Silicon Valley Bank fokus pada penyediaan layanan deposito dan pembiayaan untuk startup teknologi.

Dalam laman resminya, Silicon Valley Bank menyebut dirinya sebagai “The financial partner of the innovation economy”. Hal tersebut karena memiliki keahlian khusus dalam layanan keuangan dan membantu pertumbuhan keuangan startup.

Melalui pendekatannya yang spesifik dan terfokus. Silicon Valley Bank berhasil menjadi mitra keuangan yang dapat diandalkan bagi para startup teknologi di seluruh dunia.

SVB mengklaim telah menjadi penyedia pembiayaan bagi hampir setengah dari perusahaan teknologi dan perawatan kesehatan berbasis modal ventura di Amerika Serikat.

Selain layanan untuk startup, SVB juga menyediakan layanan keuangan dengan wilayah operasi global untuk para investor dan perusahaan sektor privat maupun publik. Oleh karena itu, SVB dapat dikategorikan sebagai bank untuk segmen komersial.

Pada tahun lalu, sebelum ditutup oleh otoritas berwenang Amerika Serikat, SVB berhasil masuk dalam 20 bank komersial terbesar di Amerika Serikat, berdasarkan data dari FDIC (Federal Deposit Insurance Corporation). Hal ini tak lepas dari total aset yang dimiliki oleh SVB.

Menurut FDIC, pada akhir Desember 2022, Silicon Valley Bank memiliki total aset sekitar 209 miliar dollar AS (sekitar Rp 3.210,4 triliun) dan total simpanan sebesar 175 miliar dollar AS (setara Rp 2.688,1 triliun).

Namun kini, SVB harus mengalami nasib yang tragis dan kolaps. Otoritas Amerika Serikat menutup operasinya setelah mengalami kebangkrutan dalam rentang waktu 48 jam.

Akibatnya, SVB harus mengembalikan dana para perusahaan yang disimpannya. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan bank tersebut harus mengalami nasib seperti ini?

Penyebab SVB kolaps

Kolapsnya SVB menjadi salah satu peristiwa kebangkrutan bank terbesar kedua di Amerika Serikat. Setelah bank Washington Mutual yang runtuh pada masa krisis keuangan 2008.

Terdapat tiga peristiwa yang secara umum menjadi penyebab kebangkrutan.

Peristiwa pertama adalah kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) dalam menaikkan suku bunga secara agresif. Sementara itu, peristiwa kedua adalah krisis modal yang sedang dialami. Kemudian, peristiwa ketiga adalah aksi bank run dari para nasabah.

Kebangkrutan SVB bermula saat The Fed menaikkan suku bunga secara agresif untuk menanggulangi laju inflasi. Sebagai informasi, selama masa pandemi, The Fed sempat memberlakukan kebijakan suku bunga nol persen.

Kebijakan suku bunga yang diterapkan The Fed diyakini dapat mendorong aktivitas belanja masyarakat yang menguntungkan para perusahaan, termasuk di antaranya perusahaan teknologi yang menyimpan uang di SVB.

Kenaikan nilai deposito yang terjadi akibatnya membuat SVB melakukan investasi besar-besaran dalam obligasi jangka panjang. Namun, investasi itu pun menjadi salah satu faktor pemicu kebangkrutan Silicon Valley Bank, seperti dikutip dari The Guardian.

Dalam setahun terakhir, kenaikan inflasi mendorong The Fed menaikkan suku bunga secara bertahap. Hal itu mengakibatkan harga atau nilai obligasi SVB dan bank-bank lainnya terkikis.

Di sisi lain, pemodal ventura yang mengalami penurunan aktivitas belanja mulai berhenti memberikan pendanaan ke perusahaan teknologi.

Akibat dana yang semakin sedikit, para perusahaan tersebut akhirnya menarik deposito yang tersimpan di SVB untuk membayar biaya operasional. Hal ini membuat SVB kewalahan dan idealnya memerlukan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Krisis modal yang dihadapi Silicon Valley Bank (SVB) membuat mereka tak memiliki cukup uang tunai, karena telah digunakan untuk investasi dalam obligasi jangka panjang.

Oleh karena itu, SVB terpaksa menjual obligasi yang dimilikinya senilai 21 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 323,9 triliun.

Namun, penjualan obligasi tersebut tidak menguntungkan karena mengakibatkan kerugian setelah pajak sebesar 1,8 miliar dollar AS atau kira-kira Rp 27,7 triliun.

Dalam rangka menanggulangi kerugian tersebut, SVB berencana menjual saham baru senilai 2,25 miliar dollar AS atau sekitar Rp 34,7 triliun.

Pada tanggal 8 Maret yang lalu, SVB mengumumkan bahwa mereka akan menjual saham senilai 1,75 miliar dollar AS atau sekitar Rp 27 triliun.

Kemudian pada hari berikutnya, tanggal 9 Maret, SVB memastikan nasabah bahwa uang mereka tetap aman meskipun adanya penjualan obligasi dan saham guna meningkatkan modal bank.

Namun, pengumuman tersebut justru menimbulkan kepanikan dan memicu fenomena bank run, yaitu ketika nasabah menarik uang mereka dari bank (dalam hal ini SVB) secara besar-besaran dan cepat.

Menurut laporan The Verge, fenomena bank run terjadi dalam waktu 48 jam. Tepat setelah SVB mengumumkan peningkatan modal pada tanggal 8 Maret lalu. Founders Fund, perusahaan modal ventura milik Peter Thiel, menjadi yang pertama menarik portofolio senilai jutaan dolar AS dari SVB.

Tak lama setelah itu, investor lain seperti Union Square Ventures dan Coatue Management juga ikut menarik uang mereka dari bank yang memiliki total aset sekitar 209 miliar dolar AS tersebut.

Akibatnya, dalam waktu dua hari setelah pengumuman penjualan saham, SVB akhirnya mengalami kebangkrutan.

Komentar
Bagikan:

4 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *